Kebijakan pertanian di Indonesia telah mencoba mengimplementasikan beberapa aspek seperti pengelolaan lingkungan, sosial dan ekonomi pertanian hijau, dan sebagian besar dari strategi nasional pertumbuhan hijau bertujuan untuk mengurangi jejak lingkungan pertanian. Berbagai tantangan yang dihadapi oleh Indonesia dalam membangun pertanian berkelanjutan dapat dilihat dari dampak lingkungan yang merugikan dari ini beberapa komoditas yang tergambar dari empat kategori seperti :
a. Ekspansi lahan pertanian dan konversi hutan yang menyebabkan kehilangan jasa lingkungan dan keanekaragaman hayati. Risiko lingkungan ini sebagian besar disebabkan oleh pertumbuhan perkebunan monokultur skala besar, khususnya perkebunan dan aktivitas tebang habis oleh industri kayu. Pertanian intensif yang berbatasan langsung dengan kawasan lindung semakin menyebabkan hilangnya habitat. Konversi lahan tidak hanya menyebabkan deforestasi dan kehilangan keanekaragaman hayati, tetapi juga ‘hutang karbon’ dan peningkatan emisi GRK. Proses desentralisasi administrasi dan fiscal secara tidak sengaja mempercepat perluasan pertanian ke kawasan hutan. Pemerintah Daerah (Kabupaten) memperoleh pendapatan operasional yang dibutuhkan atas keberadaan lahan konsesi.
b. Polusi organik dan anorganik – Penggunaan pupuk yang tidak efisien, oprasional pengolahan karet dan pabrik kelapa sawit telah menyebabkan pencemaran air dan kontaminasi tanah.
c. Penggunaan sumber daya air yang tidak terkendali – penggunaan air secara berlebihan dapat menyebabkan menurunnya kemampuan tanah untuk menyerap air. Kajian yang pernah dilakukan menerangkan bahwa pertanian di Indonesia telah mengalami risiko kelangkaan air. Kopi, coklat dan beras telah menunjukkan tanda-tanda potensi risiko. Namun, kopi dan kakao mengkonsumsi sebagian besar air hujan, tidak menghalangi pengguna lain dalam memanfaatkan air. Sebaliknya, produksi beras mengharuskan petani padi berbagi sumber daya air dengan yang lain pengguna dan produsen dalam negeri.
d. Kesalahan pengelolaan nutrisi tanah dan pemilihan lahan yang buruk – pemilihan tanah gembur dan lereng curam untuk pertanian, pembajakan kontur secara paralel, tanah pembersihan tumbuhan bawah dan pembakaran lahan berkontribusi pada degradasi lahan dan erosi tanah. Degradasi lahan paling umum ketika petani tidak menyadari bahaya dari kesalahan pemilihan lokasi dari terbatasnya ketersediaan lahan pertanian yang subur dan datar. Penerapan model irigasi yang tidak tepat secara teknis juga dapat menurunkan kesuburan tanah. Erosi tanah telah menjadi masalah terutama apalagi ketika terdapat perkebunan pada kelerengan yang curam. Sistem produksi yang tidak diarsir membutuhkan lebih banyak masukan kimia dan tidak memiliki penutup mulsa alami dari pohon peneduh yang merusak tanah lebih cepat dan meningkatkan erosi tanah.
Pembangunan berkelanjutan perlu diwujudkan dengan mengitegrasikan pertumbuhan ekonomi yang inklusif namun pada saat yang sama harus menjaga kualitas lingkungan yang menjamin ketersediaan sumber daya alam dan daya dukung sumber daya alam. Pemerintah telah memulai kebijakan pembangunan yang berorientasi pada keseimbangan pertumbuhan ekonomi, stabilitas sosial dan mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan Intensitas emisi GRK. Inisiatif ini sebagai masukan dalam penyusunan RPJMN 2020-2024 dengan pendekatan Holistik, Integratif, Tematik dan Spasial (HITS), yang kita kenal dengan Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon. Secara khusus, Pembangunan Rendah Karbon juga telah menjadi Program Prioritas dalam RPJMN 2020-2024. Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon ini adalah platform baru untuk pembangunan Indonesia yang bertujuan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan sosial melalui kegiatan pembangunan rendah emisi GRK dan Intensitas emisi GRK, serta meminimalkan eksploitasi sumber daya alam kita. Dalam hal ini, intervensi kebijakan pembangunan yang memiliki manfaat untuk pengurangan emisi GRK dan Intensitas emisi GRK akan diprioritaskan.
Pembangunan rendah karbon adalah platform pengembangan baru untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan sosial melalui aktivitas Degnan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan Intensitas emisi GRK yang rendah serta mengurangi penggunaan sumber daya alam. Pembangunan rendah karbon menempatkan tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) ke 13 (Aksi Perubahan Iklim) sebagai dasar utama dalam mendukung SDGs.
Gambar 1. Indikator Hasil Pembangunan Rendah Karbon
PROYEK PERCONTOHAN PEMBANGUNAN RENDAH KARBON
Sejak tahun 2010 – 2019, Kementerian PPN/Bappenas telah melaksanakan beberapa proyek percontohan melalui Dana Perwakilan Perubahan Iklim Indonesia/Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF). Setidaknya terdapat 7 Proyek Implementasi Pembangunan Rendah Karbon Indonesia di 7 Provinsi melalui percontohan implementasi Proyek Percontohan Rendah Karbon/Low Carbon Development (PRK/LCD) di Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Jawa Barat, Papua, Papua Barat, Riau dan Bali.
Ketujuh proyek implementasi pembangunan rendah karbon tersebut adalah
- Pemanfaatan Biogas untuk Pasokan Rumah Tangga
- Rehabilitasi Hulu DAS Berbasis Masyarakat
- Konservasi Ekosistem Nipah dan Hutan Penyangga Bagian Timur Suaka Margasatwa Sungai Lamandau Sebagai Kawasan Pencadangan Hutan Kemasyarakatan (HKm)
- Ketahanan Pangan dan Peningkatan Ekonomi Bagi Masyarakat Rentan Melalui Pertanian Berkelanjutan.
- Proyeksi Iklim dan Strategi Adaptasi Penanaman Padi dengan Metode System of Rice Intensification (SRI)
- Model Reforma Agraria untuk Peningkatan Sumberdaya Hutan
- Pemanfaatan Lahan Bekas Tambang sebagai Taman Wisata Mangrove dalam Upaya Rehabilitasi Ekosistem dan Sekuestrasi Karbon di Belitung Mangrove Park.
Dari ketujuh proyek implementasi tersebut setidaknya terdapat 4 (empat) proyek yang berkaitan dengan aktivitas pertanian yaitu pada point 1, 4, 5 dan 6 sebagai berikut :
1. Pemanfaatan Biogas untuk Pasokan Energi Rumah Tangga
Kegiatan ini dilaksanakan di Desa Keningar dan Desa Ngargomulyo, Magelang Jawa Tengah. Tujuan dari proyek ini adalah menurunkan emisi GRK dan intensitas GRK dari limbah peternakan dengan cara menghasilkan energi terbarukan (biogas), limbah rendah emisi dan kompos, yang bermanfaat meningkatkan kualitas tanah dan ekosistem, serta stok karbon dari kegiatan revegetasi. Masyarakat difasilitasi untuk membangun biodigester dan mengoprasikan pusat pembibitan. Beberapa dampak penting yang dilhasilkan dari proyek ini dilihat dari 3 aspek yaitu ekonomi, lingkungan dan sosial.
a. Aspek ekonomi : masyarakat memperoleh tambahan pendapatan sebesar Rp 3.000.000/kk/bulan; masyarakat telah mampu mendirikan Koprasi Hijau; Biogas yang dihasilkan dapat mengurangi biaya pengeluaran rumah tangga sebesar Rp 60.000/bulan.
b. Aspek Lingkungan : Kegiatan ini menurunkan emisis karbon sebesar 16.515 ton CO2 eq/tahun; 10 unit Bio-digester telah dibangun; 35.085 bibit MPTS (multi purpose tree species) telah ditanam; 17,8 hektar areal bekas tambang telah direhabilitasi
c. Aspek Sosial : Sekitar 155 orang terlibat dalam pemulihan lahan bekas tambang
2. Ketahanan Pangan dan Peningkatan Ekonomi Bagi Masyarakat Rentan Melalui Pertanian Berkelanjutan
Kegiatan ini dilaksanakan di Desa Kanaungan, Kecamatan Labakkang, Pangkep Sulawesi Selatan. Pada lokasi ini yang terdapat 400 ha tambak udang yang selalu gagal panen. Penggunaan pupuk kimia terus meningkat namun pendapatan selalu menurun. ICCTF dan Yayasan FIELD telah melakukan kegiatan untuk meningkatkan produksi pangan berkelanjutan dan ekonomi bagi masyarakat rentan. Masyarakat diberi pelatihan terkait dengan penghentian penggunaan pupuk kimia dengan cara mengganti dengan pupuk organic. Selain itu masyarakat juga mengikuti Sekolah Lapangan Pertanian yang dikembangkan untuk meningkatkan produktivitas padi dan holtikultura. Penanaman mangrove di areal akuakultur juga dilakukan. Beberapa dampak penting dari kegiatan ini adalah sebagai berikut :
a. Aspek Ekonomi : Masyarakat mendapatkan tambahan penghasilan sebesar Rp 1.000.000/bulan dari kegiatan polikultur organic udang dan ikan; Peningkatan hasil panen padi dari yang sebelumnya 5,3 ton/ha menjadi 8 ton/ha; Menurunnya pengeluaran keluarga untuk pembelian sayur sebesar Rp 150.000/bulan/kk pada 75 KK.
b. Aspek Lingkungan : Menurunnya emisi GRK sebesar 43,85 ton CO2 eq/tahun; Penanaman padi yang sebelumnya dilakukan hanya sekali menjadi dua kali dalam setahun; Masyarakat menghasilkan pupuk organic untuk tambak dan pertanian; 10 hektar tambak organic telah dikembangkan.
c. Aspek Sosial : Peningkatan kapasitan masyarakat rentan di darat dan pesisir; partisipasi aktif komunitas di daerah pengelolaan pertanian lahan kering dan pesisir local
Selain itu masyarakat juga mendapatkan sertifikasi organic holtikultura dari Pembiayaan Kementerian Pertanian.
3. Proyeksi Iklim dan Strategi Adaptasi Penanaman Pagi dengan Metode System of Rice Intensification (SRI)
Lokasi kegiatan proyek ini dilaksanakan di Kabupaten Kupang, NTT yang fasilitasi oleh ICCTF bekerjasama dengan Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Proyek ini mengembangkan inovasi untuk meningkatkan hasil panen dan mengatasi masalah keterbatasan air. Dalam proyek membantu pemerintah daerah dan masyarakat untuk beradaptasi dalam perubahan iklim dengan merumuskan prediksi iklim untuk jangka 30 tahun ke depan dan memasukan metode penanaman SRI ke dalam dokumen perencanaan daerah. Proyek ini juga membantu petani dan masyarakat setempat untuk menggunakan teknologi dalam kegiatan pertanian untuk meningkatkan produktivitas. Beberapa dampak penting dari kegiatan ini adalah sebagai berikut :
a. Aspek Ekonomi : Masyarakat mendapat tambahan pendapatan sebesar Rp 1.000.000/kk/bulan; Meningkatnya produktivitas tanaman sebesar 12 ton/ha dari yang sebelumnya sebesar 5,4 ton/ha.
b. Aspek Lingkungan : Pengurangan emisi GRK dan intensitas emisi GRK dengan mengurangi pemakaian pupuk non-organik; mengurangi kebutuhan lahan pertanian; keamanan pangan menjadi lebih baik; penurunan kebutuhan air.
c. Aspek Sosial : Peningkatan kapasitas petani dalam menerapkan teknologi intensifikasi untuk pertanian; membangun kolaborasi dan sinergi antara kementerian, pemda dan universitas untuk meningkatkan proyek kabupaten secara keseluruhan di NTT.
4. Model Reforma Agraria untuk Peningkatan Sumberdaya Hutan
Proyek ini dilaksanakan di Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Pendidikan dan Pelatihan UGM di Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Ngawi Provinsi Jawa Timur. Mitra pelaksana dalam proyek ini adalah Fakultas Kehutanan UGM dan ICCTF. Tujuan dari proyek ini adalah melakukan reforma agrarian untuk peningkatan produktivitas hutan dalam upaya percepatan pencapaian kedaulatan pangan, pengentasan kemiskinan serta pengurangan emisi GRK dan intensitas emisi GRK. Fakultas Kehutanan mendorong masyarakat untuk mengadopsi Integrated Forestry and Farming System (IFFS) pada lahan demplot seluas 500 ha di 8 LMDH. Beberapa dampak penting dari kegiatan ini adalah sebagai berikut :
a. Aspek Ekonomi : Hasil panen padi lahan kering dan jagung hibrida mencapai produktivitas 7,5 ton/ha; peningkatan ekonomi masyarakat sebesar Rp 7.500.000/kk/bulan
b. Aspek Lingkungan : Potensi pengurangan emisi sebesar 89.456,25 ton CO2eq/tahun pada tahun ke-10; menjaga daerah tangkapan air Sungai Bengawan Solo; Dukungan konservasi dari para pihak seperti BPDAS Solo dengan melakukan penanaman di areal seluas 600 ha dan mengalokasikan dana desa untuk penyiapan pembibitan.
c. Aspek Sosial : Kelompok LMDH memiliki wawasan mengenai IFFS sehingga mampu menyelaraskan antara pemanfaatan hutan dan pertanian yang lestari; dukungan akses dari PU dengan memperbaiki jalan Blora – Ngawi.
TANTANGAN HIJAU DALAM KOMERSIALISASI PERTANIAN
Indonesia merupakan negara ke-4 dengan populasi terbesar di dunia dari total populasi penduduk dunia sebesar 246 juta jiwa pada tahun 2012 (The World Bank, 2014). Pertanian memainkan peranan penting dalam perkembangan perekonomian di Indonesia. Di tingkat global, Indonesia merupakan produsen terbesar minyak kelapa sawit dan kedua terbesar penghasil karet alam dan coklat dan kelima terbesar penghasil kopi. Tujuan utama komoditas eksport adalah negara Jepang (kopi), Malaysia (coklat), Amerika (karet) dan India (minyak kelapa sawit) (FAO, 2011, 2013). Pada tahun 2013 Indonesia memproduksi 37 juta ton beras dan mengkonsumsi kurang lebih 35 ton beras. Namun bagaimanapun juga Indonesia selalu membutuhkan import beras untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional.
Gambar 2. 5 Komoditas teratas berdasarkan provinsi pada tahun 2013
Gambar 3. Grafik Area dan Produktivitas Beras
Gambar 4. Grafik Area dan Produktivitas Coklat
Gambar 5. Grafik Area dan Produktivitas Kopi
Gambar 6. Grafik Area dan Produktivitas Karet
Gambar 7. Grafik Area dan Produktivitas Minyak Kelapa Sawit
Dampak lingkungan yang merugikan akibat aktivitas pertanian sangat bervariasi tergantung pada praktek pertanian itu sendiri, pemilik lahan dan tipe lanskap. Dampak lingkungan terkait dengan perluasan pertanian komersial, yang mana melibatkan perambahan skala besar perkebunan monokultur dari habitat alami, seperti: hutan dan lahan gambut yang tidak terganggu. Keberlanjutan indikator risiko lingkungan secara konvensional berfokus pada dampak yang ditimbulkan oleh praktik pertanian. Resiko lingkungan yang ditimbulkan dari konversi hutan alam menjadi pertanian berhubungan dengan praktek pertanian seperti ekspansi besar-besaran pertanian monokultur, pembangunan perkebunan kelapa sawit, tebang habis oleh hutan tanaman industry sebelum kegiatan penanaman untuk komersialiasi komoditas pertanian. Kehilangan habitat dari kegiatan pertanian secara intensif yang berada di sekitar Kawasan lindung. Terjadinya erosi. Kehilangan karbon stok dibawah tegakan, terjadinya peningkatan emisi GRK, peningkatan polusi udara dan air.
Oleh: Dennis Wara Hermiandra, S.Hut.
Mahasiswa Magister Agribisnis UMM Malang
Sekretaris Asosiasi Pengusaha Hutan Komda Kalimantan Barat
Sumber :
- Indonesia’s “Green Agriculture” Strategies and Policies : Closing the Gap between Aspiration and Aplication – World Agroforestry Centre 2015
- 7 Proyek Implementasi Pembangunan Rendah Karbon di Indonesia – Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Bappenas