Kedelai Tanpa Tahu Tempe?

Kedelai merupakan sumber utama protein nabati, minyak nabati, asam lemak essensial, vitamin dan mineral yang cukup (Yulyatin, 2015, Ramadhana, et.al, 2022). Sebagai salah satu tanaman polong-polongan yang menjadi bahan dasar makanan olahan, kedelai cukup popular sebagai salah satu bahan baku utama industri pengolahan pangan di Indonesia. Biji kedelai mempunyai nilai guna dan gizi yang cukup tinggi karena bisa dimanfaatkan sebagai bahan pangan seperti tahu, tempe, kecap, tauco dan susu sari kedelai (Ramadhana, et.al, 2022). Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan meningkatnya kesadaran masyarakat akan konsumsi makanan bergizi, permintaan terhadap kedelai mengalami peningkatan setiap tahunnya (Aslindawaty, 2022). Namun tingginya permintaan kedelai nyatanya tidak diimbangi dengan peningkatan produksi kedelai di dalam negeri (Kharisma, 2019). Dalam perkembangannya, kedelai memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia. Ketersediaan kedelai di pasar, akhir – akhir ini cenderung mengalami permasalahan karena ketersediannya tidak mencukupi kebutuhan masyarakat (Tarigan, et.al. 2020).

Sebagai salah satu makanan populer di Indonesia dengan harga terjangkau dan kandungan gizi yang besar, olahan kedelai tentunya sangat diminati segala kalangan, khususnya kalangan menengah ke bawah (Kadoeng, 2022). Kondisi ini berkaitan erat dengan pola konsumsi masyarakat, olahan kedelai khususnya tahu dan tempe memiliki latar belakang penting secara historis dan budaya sebagai salah satu keanekaragaman pangan di Indonesia (Kharisma, 2019). Kebutuhan kedelai untuk industri pengolahan tahu dan tempe merupakan permintaan turunan, di mana 60% atau lebih total kedelai digunakan untuk industry terebut (Mulyana, 2002. Aslindawaty, 2022). Sehingga berkurangnya ketersediaan kedelai akan mempengaruhi keberlangsungan industri pengolahan bahan baku kedelai, khususnya tahu dan tempe. Berkurangnya ketersediaan dan kenaikan harga tersebut mengakibatkan biaya produksi industri pengolahan kedelai akan meningkat. Jika kondisi ini dibiarkan, maka akan banyak pelaku industri pengolahan yang kehilangan mata pencaharian dan bahkan menjadi pengangguran (Tambunan, 2016). Tidak bisa dibayangkan jika kedelai tanpa tahu tempe, jika kedelai hilang maka eksistensi tahu dan tempe di Indonesia kemungkinan akan lenyap.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistika yang dipublikasikan dalam website Kementerian Pertanian Republik Indonesia, rata-rata produksi kedelai di Indonesia relatif stabil pada angka 800-900 ton per tahun di mana penyuplai produksi kedelai tertinggi berada di Provinsi Jawa Timur (sumber: hasil Analisa dari data BPS tahun 2014-2018). Namun produksi kedelai sempat mengalami penurunan cukup signifikan pada tahun 2017 dengan jumlah produksi kedelai sebesar + 538.728 ton. Penurunan produksi kedelai tersebut kemungkinan diakibatkan oleh penurunan luas panen kedelai pada kabupaten/ kota di Indonesia. Di mana salah satu faktor yang menyebabkan penurunan luas panen kedelai di Indonesia adalah harga kedelai dalam negeri yang kurang mampu bersaing dengan harga kedelai luar negeri sehingga petani kurang mendapat insentif dalam menanam kedelai (Tambunan, 2016). Hal ini terlihat dari produksi kedelai di Indonesia yang berbanding lurus dengan data luas panen kedelai, di mana faktor pendorong utama peningkatan produksi kedelai adalah peningkatan luas panen dan peningkatan produktivitas (Juswadi, 2021).

Berdasarkan data dan paparan Prognosa Neraca Komoditas Pangan Strategis Kementerian Pertanian Republik Indonesia tahun 2022, produksi kedelai dalam negeri ternyata belum mampu mencukupi kebutuhan kedelai di Indonesia. Di mana produksi kedelai dalam negeri hanya mampu mencukupi sekitar 10% dari total kebutuhan nasional pada tahun 2022. Dalam data tersebut, pemerintah memproyeksikan produksi kedelai dalam negeri hanya sebesar 200.315 ton. Sedangkan, kebutuhan kedelai dalam negeri diperkirakan mencapai 2.983.511 ton. Data tersebut cukup mengejutkan mengingat sumber daya alam yang dimiliki Indonesia cukup melimpah. Menurut data Badan Pusat Statistika, produktivitas kedelai di Indonesia relatif mengalami penurunan dari tahun 2014 sampai 2018. Di mana produktivitas diartikan sebagai hasil produksi kedelai yang telah dibagi ke dalam satuan luas lahan dan diukur dalam satuan kilogram per hektar (Rahim, et.al. 2020). Jika dibandingkan dengan negara-negara besar penghasil kedelai dengan produktivitas rata-rata >20 ku/ha, produktivitas rata-rata Indonesia termasuk dalam kategori rendah dengan produktivitas sebesar 14-15 ku/ha (Tambunan, 2016). Padahal jika peningkatan produktivitas dapat efektif dilakukan maka bukan tak mungkin peningkatan produksi kedelai dapat dihasilkan.

Pemerintah kerap menerapkan beberapa kebijakan dalam upaya mencukupi kebutuhan kedelai dalam negeri, salah satunya melalui penerapan kebijakan impor terhadap komoditas kedelai (Kharisma, 2019). Tak bisa dipungkiri bahwa harga kedelai impor lebih rendah dibanding dengan harga kedelai dalam negeri. Namun harga ini cenderung mengalami kenaikan setiap tahunannya, perkembangan harga kedelai global sejak Januari 2022 hingga saat ini menunjukkan adanya peningkatan. Di mana peningkatan harga kedelai global disebabkan oleh adanya lonjakan permintaan kedelai impor dan tentunya kondisi geopolitik serta iklim global yang saat ini belum stabil. Kondisi ini berdampak pada kenaikan harga kedelai di dalam negeri yang mempengaruhi kelangsungan industri pengolahan kedelai di Indonesia. Sepanjang tahun 2022, tercatat beberapa produsen tahu dan tempe melakukan aksi mogok produksi akibat harga kedelai yang melambung tinggi. Kondisi ini tentunya berpengaruh terhadap berkurangnya keterpenuhan kebutuhan masyarakat akan olahan kedelai, khususnya tahu dan tempe.

Mengantisipasi gejolak akibat kenaikan harga kedelai, pemerintah memberikan bantuan penggantian selisih harga kedelai untuk menjaga ketersediaan pasokan dan stabilitas harga kedelai dalam negeri. Khususnya, di tingkat industri pengolahan tahu dan tempe yang merupakan pengguna terbesar bahan baku kedelai. Namun, kebijakan ini diberikan melalui Koperasi Produsen Tahu dan Tempe Indonesia (KOPTI) sehingga penyaluran hanya terbatas pada industri yang tergabung dalam lembaga. Selain itu program ini hanya berlangsung selama 4 bulan (bulan April sampai dengan bulan Juli tahun 2022) sehingga dirasa kurang efektif dan kontinu dirasakan pelaku industri pengolahan. Sisi positif dari kebijakan ini tentunya dalam hal penguatan kelembagaan KOPTI yang ikut berperan aktif dalam memastikan penyaluran bantuan kepada anggotannya yaitu pelaku industri pengolahan.

Alternatif lain yang bisa dilakukan bagi pelaku indsutri pengolahan tahu dan tempe yaitu dengan mengganti bahan baku kedelai impor dengan sumber bahan lokal di Indonesia seperti kedelai hitam, kacang tanah, dan kacang merah (Hernawati, et.al. 2019). Meskipun bahan olahan jenis kacang-kacangan ini belum banyak diminati konsumen tapi hal ini dapat menjadi alternatif agar produsen tidak mengalami pemberhentian produksi saat harga kedelai impor mengalami kenaikan. Di mana secara kandung gizi,  bungkil kacang tanah memiliki kadar protein kasar sekitar 40-46% sehingga kadar protein yang dimiliki dan penting bagi tubuh (SNI, 1997). Sementara Kedelai hitam dan kacang merah memiliki antioksidan yang cukup tinggi dan memiliki potensi fitokimia lainnya (Irmayati, 2019). Selain itu, kualitas tempe dipengaruhi oleh kualitas starter yang akan digunakan untuk inokulasinya yang dikenal sebagai inokulum atau ragi tempe (Wipradnyadewi, et al., 2010). Sehingga bahan baku pengganti kedelai impor dapat menjadi alternatif yang memberikan nilai tambah asalkan didukung dengan kualitas starter yang baik.

Selain alternatif tersebut, tentunya untuk menjamin ketersediaan dan peningkatan produktivitas kedelai sebagai salah satu bahan pangan utama di Indonesia, diperlukan dukungan pemerintah dalam penyediaan teknologi pengembangan budidaya kedelai. Dimana faktor yang mempengaruhi produktivitas kedelai anatara lain jenis tanah, kualitas benih, varietas, pengelolaan tanaman, dosis pupuk, serta pengendalian hama dan penyakit, waktu tanam dan panen, teknologi yang digunakan, dan interaksi semua faktor tersebut (Saleh, et.al. 1999). Penguasaan teknologi budiaya kedelai nantinya akan meningkatkan produktivitas per satuan lahan sehingga peningkatan produksi akan dihasilkan (Juswadi, 2021). Keberhasilan pengembangan kedelai di suatu daerah merupakan penjelmaan dari partisipasi petani, pemberian fasilitas penguatan modal, pelatihan dana pembinaan teknologi, dan perlindungan petani merupakan pendorong partisipasi dalam menanam kedelai (Supadi, 2008).

Selanjutnya, dalam jangka pendek diperlukan adanya kebijakan pengendalian impor dan kebijakan peningkatan produktivitas kedelai dalam negeri terutama di daerah sentra produksi (Prabowo, 2010). Hasil penelitian Darwanto dan Ratnaningtyas (2005) menunjukkan bahwa dalam jangka panjang kebijakan pembatasan impor dapat dikurangi secara bertahap, namun kebijakan peningkatan produksi domestik masih perlu diperlukan. Upaya untuk menjadikan Indonesia berswasembada kedelai tidak hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan, tetapi juga untuk mendukung agroindustry dan menghemat devisa serta mengurangi ketergantungan terhadap impor (Siswadi, 2017). Kemandirian dan kedaulatan pangan harus efektif dilakukan agar tidak ada lagi ketergantungan terhadap impor pangan, khususnya kedelai.

DAFTAR PUSTAKA

  • Ramadhana, Arga. Kambu, Olivia Natalia. 2022. Saluran Distribusi Tahu pada Industri Tahu Tempe Bintang Salma Papua Barat. Jurnal Agribisnis Vol 24 No: 2, Politeknik Negeri Fakfak.
  • Aslindawaty, Nur.  Cembes, Rista Ani. 2022. Analisis Dampak Kenaikan Harga Kedelai terhadap Pendapatan Usaha Pengrajin Tempe di Desa Ndiwar Kecamatan Lelak Kabupaten Manggarai Tengah. Cross-border Vol. 5 No 1 page 179-198
  • Kadoeng, Jumiati. 2022. Analisis Biaya Produksi terhadap Pendapatan Pengusaha Tahu Tempe di Kecamatan Sukamaju Kabupaten Luwu Utara. Universitas Muhammadiyah Palopo.
  • Juswadi, Juri. Sumarna, Pandu. Mulyati, Neneng Sri. 2021. Potensi Peningkatan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Kedelai di Jawa Barat. Universitas Wiralodra Indramayu. Jurnal Ilmiah Pertanian Vol 9 No.1
  • Rahim, Abdur. Husaini. Yulianto, Mira. 2020. Analisis Pemasaran Kedelai (Glycine max) di Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan. Universitas Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan.
  • Tarigan, Nova Astylia. Sofyan. Rahmaddiansyah. 2020. Analisis Faktor-Faaktor yang Mempengaruhi Daya Saing Kedelai Indonesia. Universitas Syiah Kuala.
  • Kharisma, Bayu. 2019. Determinan Produksi Kedelai di Indonesia dan Implikasi Kebijakannya. E-Jurnal Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana 7.3 (2018): 679-710
  • Irmayanti, S., M, Kukuh., E, Novy. 2019. Pemanfaatan Kacang-kacangan sebagai Bahan Baku dalam pembuatan tempe. Jember: Jurnal Bioma Vol. 1 No. 1
  • Hernawati, Diana. Meylani, Vita. 2019. Variasi Inokulum Rhizopus sp. Pada Pembuatan Tempe Berbahan Dasar Kedelai dan Bungkil Kacang Tanah. Makassar : Jurnal Biom, 4(1) 58-67
  • Siswadi, Bambang. 2017. Analisis Pemasaran Kedelai. Seminar Nasional Hasil Penelitian Universitas Kajuruhan Malang. Universitas Islam Malang.
  • Tambunan, Zuriah Afriani. 2016. Analisis Pendapatan Industri Tahu Tempe Akibat Peningkatan Harga Bahan Baku Kacang Kedelai di Kota Padang Sidempuan. Universitas Medan Area : Medan.

Oleh : Arif Ardianto, SP

NIM : 202120390211021

Mahasiswa Magister Agribisnis

Universitas Muhammadiya Malang